Sabtu, 21 Mei 2011

Sosiologi Agama

Dalam sosiologi, agama dikaji sebagai suatu fakta sosial. Munculnya sosiologi agama di akhir abad 19 sebagai disiplin baru dari sosiologi adalah untuk melihat agama sebagai situs pengetahuan yang dikaji dari sudut pandang sosiologis. Sosiologi agama tidak hendak melihat bagaimana seseorang beragama, akan tetapi untuk memotret kehidupan beragama secara kolektif yang difokuskan kepada peran agama dalam mengembangkan atau menghambat eksistensi sebuah peradaban suatu masyarakt. Dan sejarah peradaban kemanusiaan selama berabad-abad memang tidak pernah sepi dari hiruk pikuk aktualisasi agama dan kepercayaan –dengan berbagai definisinya- yang khas dan diwujudkan dalam perilaku keseharian masyarakat.

Seorang sosilog terkemuka asal Perancis, Emile Durkheim, dalam Muhni (1994) mendefinisikan agama sebagai : Religion is an interdependent whole composed of beliefs and rites related to sacred things, unites adherents in a single community known as a Church (satu sistem yang terkait anatar kepercayaan dan praktek ritual yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, yang mampu menyatukan pengukutnya menjadi satu kesatuan masyarakat dalam satu norma keagamaan). Dari pengertian ini agama bisa dimaknai sebagai pembentuk formasi sosial yang menumbuhkan kolektifisme dalam satu komunitas masyarakat. Kesimpulan umum ini menjadi pijakan bagi para sosiolog agama dalam menjelaskan dimensi sosial agama dimana kekuatan kolektivisme agama dianggap telah mampu menyatukan banyak perbedaan antar individu dan golongan diantara pemeluknya. Di sini agama bisa dianggap mampu berperan dalam transformasi sosial menuju masyarakat yang membangun masyarakat secara kolektif.

Berbeda dengan pandangan di atas, Karl Marx memiliki pendapat yang agak sinis terhadap agama. Menurutnya agama tak lebih dari doktrin metafisik yang tidak material, dan hanya menitikberatkan pada orientasi pasca-kematian. Hal ini menurutnya agama telah dijadikan alat untuk membangun ”kesadaranpalsu” untuk mengalihan perhatian pemeluknya atas penderitaan nyata dan kesulitan dalam kehidupan mereka. Dalam memperkenalkan filsafat materialisme historisnya dalam kajian ideologi, Marx menjelaskan bahwa agama adalah imajinasi; atau lebih tepatnya khayalan yang melenakan. Agama menjadi suatu doktrin kepercayaan yang kerap digunakan sebagai alat legitimasi untuk mempertahankan hal-hal yang ada di dalam masyarakat sesuai dengan kepentingan para penindas.

Kritik Marx atas agama ini adalah refleksi dalam konteks zamannya dimana kekuatan agamawan pada waktu itu nyatanya tidak mampu menjadi penggerak atas struktur kapitalisme yang menindas masyarakat kelas bawah. Marx menyatakan agama mendukung dan melayani kepentingan tertentu yang terkait dengan dominasi kelas dan penundukan kelas Dia menyebutkan bahwa agama dari sudut sosialitasnya adalah rengekan golongan masyarakat yang tertindas. Agama tidak mamu menjadi alat perubahan dan perlawanan masyarakat miskin yang tertindas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar