Sabtu, 21 Mei 2011

Psikologi Qurani

Dalam psikologi, mungkinkah seseorang dihakimi sebagai telah bertindak benar atau salah? Dalam logika mazhab behavioristik, suatu mazhab yang sedang mendominasi dunia pemikiran psikologi, jawabnya jelas: mustahil! Demikian juga dalam mazhab Freudian, mazhab yang juga masih berpengaruh luas. Jadi, bagaimana perbuatan korup, serakah, bermewah-ria, menindas dan mengeksploitasi manusia, berkhianat, iri-dengki, gila hormat, dan sejenisnya dapat dikatakan salah dan amoral dari perspektif keilmuan?

Behaviorisme
Nilai benar dan salah dalam asumsi psikologi behavioristik adalah sesuatu yang tidak memiliki dasar ilmiah. Karena itu, konsep benar dan salah sudah seharusnya disingkirkan dari wilayah studi tentang tingkah laku manusia.
Dalam pandangan psikologi ini, manusia tak ubah bagai lempung yang bentuknya sepenuhnya tergantung pada pengaruh lingkungan atau rentetan stimuli yang mengenainya. Maka mustahil perbuatan seseorang dapat dihakimi sebagai benar atau salah. Bukankah stimuli itulah yang menjadi sebab perbuatannya? Bukankah satu-satunya motivasi yang menggerakkan tingkah laku manusia tak lain dan tak bukan adalah penyesuaian diri dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya di sini dan kini (here and now)? Maka “benar” dan “salah” hanyalah nilai yang artifisial, hanyalah hasil belajar belaka. Dikemukakan oleh B.F. Skinner dalam bukunya, Beyond Freedom and Dignity (1975), bahwa apa yang dinamakan “benar” dan “salah” dalam tingkah laku bukanlah kebaikan atau kejahatan yang sesungguhnya, melainkan hanyalah hasil dari berbagai reinforcer positif maupun negatif, hadiah (reward) dan hukuman (punishment).
Tak pelak lagi, psikologi yang mendasarkan diri pada prinsip stimulus-response-reinforcement ini adalah psikologi yang memandang manusia laksana benda mati. Manusia tak memiliki kemauan dan kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Manusia itu makhluk tak berjiwa.

Freudianisme
Serupa dengan behaviorisme adalah Freudianisme, mazhab yang lebih tua dari behaviorisme dan masih berpengaruh luas, yang menyatakan bahwa adalah insting yang bernama eros (insting hidup) dan tanatos (insting mati) yang menjadi penyebab dan landasan untuk menafsirkan segala tingkah laku manusia. Sedangkan nilai-nilai, demikian beberapa penulis kaum Freudian, tidak lain hanyalah mekanisme pertahanan diri, reaksi-reaksi formasi dan sublimasi-sublimasi. Dus, nilai-nilai tak memiliki dasar yang kokoh.
Di mata Sigmund Freud manusia adalah produk evolusi yang terjadi secara kebetulan. Dalam pandangannya, keberadaan manusia, kelahiran dan perkembangannya hanyalah sebagai akibat dari bekerjanya daya-daya kosmik terhadap benda-benda inorganik. Jadi, manusia hanya dipandang sebagai makhluk fisik, makhluk biologi. Ini suatu pemikiran yang jelas sangat dipengaruhi pemikiran Charles Darwin bahwa manusia tak lebih dan tak kurang hanyalah binatang.
Dalam kata-katanya sendiri, sebagaimana tertulis pada bukunya On Creativity and the Unconscious (1958). Freud menegaskan pendiriannya: Dalam gerak perkembangannya ke arah peradaban, manusia memperoleh posisi berkuasa atas sesama makhluk dalam kerajaan binatang. Tapi, tak cukup puas dengan superioritas ini, manusia mulai menciptakan jurang pemisah antara sifatnya dengan sifat makhluk lainnya. Ia menyangkal bahwa yang selain dirinya juga memiliki akal, sedang dirinya sendiri dipertautkan dengan suatu jiwa yang abadi, dan mengklaim dirinya bercitra Ilahi agar dapat memutuskan tali persamaan antara dirinya dengan kerajaan binatang… Kita tahu bahwa setengah abad lebih sedikit yang silam, penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh Charles Darwin dan para koleganya telah mengakhiri kecongkakan manusia ini. Sesungguhnya, manusia bukanlah makhluk yang berbeda apalagi lebih unggul daripada binatang…
Tak aneh jika, seperti dikatakan Frank G. Goble, selama karirnya Freud berusaha mereduksikan tingkah laku manusia ke dalam ukuran kimiawi dan fisik belaka. Model psikologi mekanistiknya menyembulkan kesimpulan bahwa kesadaran manusia semata-mata merupakan derivat dari proses materialisme, sama seperti teori kesadaran Marx. Ucapannya, bahwa pada waktu seorang manusia mulai bertanya mengenai apa tujuan hidupnya maka pada waktu itulah gangguan kejiwaannya muncul, menggambarkan betapa ia seorang materialis sejati. Dari situ mudah dipahami jika Freud menganggap konsep Tuhan sebagai delusi ciptaan manusia.
Alhasil, kedua mazhab Psikologi itu sama-sama deterministik. Manusia diasumsikan tak memiliki kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri, sehingga mustahil manusia dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya. Tak ada nilai benar dan salah karena bukan kemauan manusia sendiri yang menggerakkan tingkah lakunya. Sebagai makhluk yang keberadaannya di muka bumi ini hanyalah karena kebetulan, manusia tak perlu mempertanyakan tujuan dan makna hidupnya. Dengan demikian jelaslah, sekurang-kurangnya pada tataran filosofis, kedua mazhab psikologi ini bertentangan secara diametral dengan pandangan Islam, yang menegaskan keniscayaan tuntutan pertangungjawaban moral dari setiap tindakan manusia.

Psikologi Humanistik
Beruntunglah, dunia psikologi tidak sepenuhnya berisi paham psikologi nihilis seperti terurai di atas. Ada juga mazhab humanistik-eksistensialistik, atau yang dikenal juga sebagai Mazhab Ketiga, yang dalam banyak hal mendasar berbeda dengan kedua mazhab sebelumnya: Freudianisme dan behaviorisme. Mazhab ini memandang manusia sebagai makhluk unik yang mempunyai kemauan dan kebebasan. Ia dapat berbuat menurut kemauannya sendiri, dan ia memiliki kebebasan untuk memilih tindakannya, sehingga dengan demikian ia dapat dimintai pertanggungjawaban.
Abraham Maslow, salah seorang tokoh utama psikologi humanistik, sangat tidak menyetujui gagasan yang menyatakan studi tentang tingkah laku manusia harus mengesampingkan konsep tentang benar-salah. Memang salah satu aspek unik dari teori humanistik Maslow adalah keyakinan akan adanya nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang berlaku umum untuk seluruh umat manusia. Dan nilai-nilai itu menurut Maslow dapat dibuktikan secara ilmiah. Jika psikologi menolak nilai-nilai moral, ujarnya, bukan saja akan memperlemah dan menghalangi pertumbuhannya, malainkan juga berarti menyerahkan nasib umat manusia pada supernaturalisme atau relativisme moral. Dan dengan begitu, orang-orang seperti Adolf Eichmann dan Hitler atau penjahat-penjahat kemanusiaan lainnya, tak bisa dikatakan melakukan kejahatan. Karena sepanjang menyangkut pribadi mereka, tak ada masalah; mereka telah berbuat efektif dan efisien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar