Jumat, 20 Mei 2011

Demokrasi, Dinamika Islam, serta Islam dan Negara

LIMA puluh tahun setelah Haji Agus Salim meninggal, November 1954, banyak dari pemikirannya yang masih relevan dengan soal-soal yang sekarang membelit bangsa Indonesia. Penerbitan ceramahnya tentang Islam di Universitas Cornell (1953) pada tahun ini oleh perguruan tinggi papan atas Amerika Serikat dan pernah jadi pusat kajian terbaik tentang Indonesia yang berada di Ithaca itu menambah satu lagi atribut bagi Bapak Bangsa ini: perintis pemikiran neomodernisme Islam di Indonesia. Yang lazim dianggap Sang Pemula dalam neomodernisme Islam di sini adalah nama-nama yang lahir kemudian: Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid. EMIL Salim, ekonom dan pembicara dalam diskusi Kompas kali ini, meringkus tiga hal dari pemikiran Agus Salim yang beresonansi dengan: kehidupan partai di Indonesia yang sampai saat ini tidak beranjak dari keadaan di tahun 1950-an dan pemikiran neomodernisme Islam yang kini digagaskan tokoh muda dalam gerakan Islam liberal di Indonesia, seperti Ulil Abshar-Abdalla, Luthfi Assyaukanie, Hamid Basyaib, dan Ahmad Sahal.Bukan sebaliknya, seperti yang saat itu-anehnya, masih berjalan sampai sekarang-berlangsung di PSII maupun partai lain: para pemimpin partai selalu menggunakan dalih disiplin partai untuk memecat anggota yang ingkar terhadap keputusan pucuk pemimpin tanpa mengindahkan hak anggota menyatakan pendapat dan aspirasi. Agus Salim berpendapat, dalam negara demokratis, faham politik mesti disiarkan di kalangan rakyat. Untuk menampung berbagai ragam faham ini, partai berlaku sebagai pelopor mewujudkan cita-cita rakyat. tas pertimbangan itu, Agus Salim merasa lebih tepat berada di luar struktur kehidupan partai supaya lebih leluasa mengusahakan pencerahan masyarakat lewat pemahaman Islam dan pengembangan kehidupan demokrasi bangsa. Sudah sejak dasawarsa 1930-an, ketika aktif terjun dalam gerakan politik, ujung tombak kegiatannya mengutamakan pemberdayaan rakyat kecil. Ketika ia dipisahkan dari Partai Syarikat Islam dan membentuk Partai Penyadar (1936), misi partai adalah menyadarkan umat manusia berpegang teguh pada Al Quran dan sunah Rasul, memberdayakan kelompok masyarakat untuk membangkitkan kemampuannya melalui Persatuan Pedagang Pasar, Persatuan Sopir Oplet, Perkumpulan Buruh Batik, dan seterusnya. Pemimpin seperti itu di Indonesia sekarang, menurut Emil, sangat langka sebab yang terjadi: orang berusaha memperkenalkan Islam bukan dengan menaikkan Islam, tetapi dengan menurunkan atau menjatuhkan agama lain. "Saya tidak mengerti kenapa kalau menghadiri ceramah saya selalu dititipi pesan tak boleh kasih salam kepada orang Kristen. Itu omong kosong," kata Emil. "Tidak akan muncul sikap seperti itu dari seorang Agus Salim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar